Rabu, 09 November 2011

Imperialisme dan Kapitalisme

Bung Karno
Tuan-tuan Hakim yang terhormat!
Di dalam aksi kami sering-sering kedengaran kata-kata “kapitalisme” dan “imperialisme”. Di dalam proses ini, dua perkataana inipun menjadi penyelidikan. Kami antara lain dituduh memaksudkan bangsa Belanda dan bangsa asing lain, kalau umpamanya kami berkata “kapitaisme harus dilenyapkan”. Kami dituduh membahayakan pemerintah kalau kami berseru “rubuhkanlah imperialisme”. Ya, kami dituduhkan berkata bahwa kpitalisme = bangsa Belanda serta bangsa asing lain, dan bahwa imperialisme = pemerintah yang sekarang!

Adakah bisa jadi benar tuduhan ini? Tuduhan ini tidak bisa jadi benar. Kami tidak pernah mengatakan, bahwa kapitalisme = bangsa asing, tidak pernah mengatakan bahwa imperialisme = pemerintah. kami pun tidak pernah memaksudkan bangsa asing kalau berkata; kapitalisme, tidak pernah memaksudkan pemerintah atau ketertiban umum atau apa saja kalau kami berkata imperialisme. Kami memaksudkan kapitalisme kalau kami berkata kapitalisme; kami memaksudkan imperialisme kalau kami berkata imperialisme!

Maka apakah artinya kapitalisme? Tuan-tuan Hakim, di dalam pemeriksaan sudah kami katakan, Kapitalisme adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme timbul dari ini cara produksi, yang oleh karenanya, menjadi sebabnya nilai-lebih[1] tidak jatuh di dalam tangan kaum buruh melainkan jatuh di dalam tangan kaum majikan. Kapitalisme, oleh karenanya pula, menyebabkan akumulasi kapital , konsentrasi kapital , sentralisasi kapital , dan industrielle reserve-armée[2] . Kapitalisme mempunyai arah kepada Verelendung[3] (baca: pemelaratan).



Haruskah kami di dalam pidato ini masih lebih lebar lagi menguraikan, bahwa kapitalisme itu bukan suatu badan, bukan manusia, bukan suatu bangsa,–tetapi ialah suatu faham, suatu pengertian, suatu sistem? Haruskah kami menunjukkan lebih lanjut, bahwa kapitalisme itu ialah sistem cara produksi, sebagai yang kami telah terangkan dengan singkat itu? Ah, Tuan-tuan Hakim, kami rasa tidak. Sebab tidak ada satu intelektuil yang tidak mengetahui artinya kata itu. Tidak ada satu hal di dunia ini, yang sudah begitu banyak diselidiki dari kanan-kiri, luar dalam, sebagai kapitalisme itu. Tidak ada satu hal di dunia ini, yang begitu luas perpustakaannya, sebagai kapitalisme itu, –hingga berpuluh-uluh jilid, berpuluh-puluh ribu studi dan buku-buku standar dan brosur-brosur tentang itu.

Imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tapi imperialisme juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain! (Bung Karno)

Tetapi apa arti perkataan imperialisme? Imperialisme juga suatu faham, imperialisme juga suatu pengertian. Ia bukan sebagai yang dituduhkan kepada kami itu. Ia bukan ambtenaar binnelandsch bestuur[4], bukan pemerintah, bukan gezag[5], bukan badan apapun jua. Ia adalah suatu nafsu, suatu sistem menguasai atau mempengaruhi ekonomi bangsa lain atau negeri,–suatu sistem merajai atau mengendalikan ekonomi atau negeri bangsa lain. Ini adalah suatu “kejadian” di dalam pergaulan hidup, yang timbulnya ialah oleh keharusan-keharusan di dalam ekonomi sesuatu negeri atau sesuatu bangsa. Selama ada “ekonomi bangsa”, selama ada “ekonomi negeri”, selama itu dunia melihat imperialisme. Ia kita dapatkan dalam nafsu burung Garuda Rum terbang ke mana-mana, menaklukkan negeri-negeri sekeliling dan di luar Lautan Tengah. Ia kita dapatkan di dalam nafsu bangsa Spanyol menuduki negeri Belanda untuk bisa mengalahkan Inggris, ia kita dapatkan di dalam nafsu kerajaan Timur Sriwijaya menaklukkan negeri semenanjung Malaka, menaklukkan kerajaan Melayu, mempengaruhi rumah tangga negeri Kamboja atau Campa. Ia kita dapatkan di dalam nafsu negeri Majapahit menaklukkan dan mempengaruhi semua kepulauan Indonesia, dari Bali sampai Kalimantan, dari Sumatera sampai Maluku. Ia kita dapatkan di dalam nafsu kerajaan Jepang menduduki semenanjung Korea, mempengaruhi negeri Mancuria, menguasai pulau-pulau di Lautan Teduh. Imperialisme terdapat di semua zaman “perekonomian bangsa”, terdapat pada semua bangsa yang ekonominya sudah butuh pada imperialisme itu. Bukan pada bangsa kulit putih saja ada imperialisme; tapi juga pada bangsa kulit kuning, juga pada bangsa kulit hitam, juga pada bangsa kulit merah sawo sebagai kami,–sebagai terbukti di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit; imperialisme adalah suatu “economische gedetermineerde noodwendigheid”, suatu keharusan yang ditentukan oleh rendah tingginya ekonomi sesuatu pergaulan hidup, yang tak memandang bulu.

Dan sebagai yang tadi kami katakan, –imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negeri dan bangsa lain, tapi imperialisme juga hanya nafsu atau sistem mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain! Ia tak usah dijalankan dengan pedang atau bedil atau meriam atau kapal perang, tak usah berupa “pengluasan negeri-daerah dengan kekerasan senjata” sebagai yang diartikan oleh van Kol[6] (Seorang anggota parlemen Belanda) –tetapi ia bisa juga berjalan hanya dengan “putar lidah” atau cara “halus-halusan” saja, bisa juga berjalan dengan cara “pénétration pacifique”.

Terutama dalam sifatnya mempengaruhi rumah tangga bangsa lain, imperialisme zaman sekarang sama berbuahkan “negeri-negeri mandat” alias “mandaatgebieden”, daerah-daerah pengaruh” alias “invloedssferen” dan lain-lain sebagainya, sedang di dalam sifatnya menaklukkan negeri orang lain, imperialisme itu berbuah negeri jajahan, –koloniaal-bezit.

*) Diambil dari Risalah “Indonesia Menggugat”, yaitu Pidato Pembelaan Bung Karno di depan pengadilan kolonial (landraad) di Bandung, 1930.
[1] Nilai lebih (merrwarde): kelebihan hasil yang diterima majikan, dari produksi kaum buruh.

[2] industrielle reserve-armée: barisan penganggur

[3] Verelendung: Memelaratkan kaum buruh.

[4] ambtenaar BB (binnelandsch bestuur): pegawai pamong praja kolonial belanda

[5] Gezag: kekuasaan.

[6] Van Kol Henri Hubert (1852-1925) , seorang sosialis yang turut mendirikan Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) dan pernah menjadi Menteri Jajahan. Kata-kata ini diucapkan Van Kol dalam sidang Tweede Kamer, 22 November 1901.

Luar Biasa, Rakyat Brazil Bisa Berobat di Rumah. Gratis!

Tidak ada yang tak mungkin jika pemerintah punya kemauan. Pemerintahan Dilma Roussef di Brazil membuktikan hal itu. Sejak Selasa (8/11), rakyat Brazil bisa menikmati layanan kesehatan gratis di rumahnya.

Program itu dinamai “Lebih Baik Di Rumah”. Program ini ditujukan kepada pasien yang sedang menjalani terapi fisik, orang tua, penderita penyakit kronis tapi belum serius, dan pasien pasca operasi.

Dengan program ini, pemerintah berharap bisa mengurangi antrean panjang di rumah sakit dan sedikit mengosongkan beberapa tempat tidur di klinik-klinik kesehatan.

Meski pasien akan dirawat di rumah, pemerintah tetap menjanjikan akan memberikan kualitas perawatan terbaik. “Pasien akan tetap dekat dengan keluarganya, merasa aman dan nyaman, dan tidak merasa tertekan seperti di rumah sakit,” ujar Dilma Roussef, perempuan yang pernah menjadi pimpinan gerilyawan kiri ini.

Untuk tahap pertama, pemerintah akan membentuk 1000 tim dan 400 tim pendukung. Setiap satu tim diharapkan bisa melayani setidaknya 60 pasien. Tim itu akan dibentuk oleh para dokter, perawat, dan asisten perawat.

Program tahap pertama membutuhkan dana sebesar 1 miliar reais (574 juta dolar AS). Dana itu merupakan hasil patungan pemerintah pusat dan kotamadya. Setiap kota dengan penduduk lebih dari 40 ribu akan mendapat program kesehatan ini.

Dilma Roussef adalah presiden dari Partai Buruh (PT). Sejak terpilih sebagai presiden dalam pemilu lalu, ia langsung menggencarkan program sosial untuk rakyatnya.

Misalnya, ketika baru terpilih, ia langsung meluncurkan program “Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik”. Program ini dimaksudkan untuk menolong kaum miskin di kota dan di daerah pedesaan agar mereka bisa berproduksi. Inti program ini adalah pemberian pelatihan teknis, promosi pertanian keluarga, dan pembangunan unit usaha akar rumput.

Ia juga melanjutkan dan memperluas program “Bolsa Familia”, sebuah program yang sudah berjalan sejak pemerintahan Lula Da Silva. Program ini dirancang untuk keluarga paling miskin di Brazil. Ia juga menggelontorkan dana sebesar 13 milyar USD untuk mendanai program “Brazil Sem Miséria (Brazil tanpa kemiskinan)”.

Sumber : Berdikarionline

Selasa, 08 November 2011

ZIONIS - PENGANTAR


"Zionisme sekedar menjadi sekilas episode dalam sejarah Yahudi, suatu ungkapan sambil lalu yang brutal (bagi para korbannya) sekaligus tragis (bagi para protagonisnya). Kerajaan Israel yang kedua lebih singkat dan tidak sejaya yang pertama; mengapa yang ketiga tidak bisa lebih singkat dan bahkan lebih tidak terhormat?"
- Michael Warschawski (Seorang sosialis dan aktivis Israel)

Klaim kondang yang disuarakan pendukung Zionisme politik adalah "Zionisme adalah gerakan pembebasan nasional rakyat Yahudi." Makna yang dikehendaki dari ini adalah: Bila kau menentang Zionisme, maka kau tidak menghargai penderitaan dan harga-diri Yahudi, maka kau berpihak pada "penghancuran Israel" dan kau adalah seorang anti-Semit.

Tiap klaim ini adalah palsu, baik secara fakta maupun logika. Untuk memahami kenapa, kita harus mendekonstruksi klaim tersebut satu per satu dan mengklarifikasikan apa Zionisme itu di masa lalu dan kini. Saya akan menggunakan istilah Zionisme di sini untuk memaksudkan "Zionisme politik," yang menuntut pendirian negara Yahudi di Palestina. Pada mulanya terdapat kaum Zionis lain yang mengusulkan penciptaan tanah air Yahudi bukannya negara. Orang-orang yang terhormat seperti I.F. Stone dan Noam Chomsky telah mengidentifikasikan diri mereka ke dalam tradisi ini, tapi yang paling penting di sini adalah Zionisme politik.

Yang benar adalah Zionisme politik muncul pada akhir abad 19 dan awal abad 20 sebagai bentuk dari nasionalisme Yahudi. (Walaupun memiliki pra-sejarah sebagai suatu gerakan di antara kaum Kristen Injili (evangelical) untuk mengembalikan kaum Yahudi ke Palestina, jauh sebelum kaum Yahudi tertarik dengan hal itu, kita akan mengabaikan catatan kaki sejarah itu di sini.) Itulah satu-satunya sebagian klaim mereka yang benar. Zionisme muncul dari gerakan nasionalis pada akhir abad 19 di Eropa, baik dalam konteks nasionalisme Eropa lainnya dan sebagai respon terhadap perkembangan anti-Semitisme yang rasis.

Tapi Zionisme hanyalah salah satu bentuk nasionalisme Yahudi, dan yang sangat tak biasa. Ia merupakan saingan dari nasionalisme Yahudi Bund yang sosialis dan berbasiskan kelas pekerja, yang hendak membebaskan rakyat Yahudi di mana pun mereka bertempat tinggal, dengan berdasarkan budaya Yiddish dan sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan manusia secara keseluruhan. Ada juga nasionalisme Yahudi yang anti-teritorial seperti yang diajarkan oleh sejarawan besar Simon Dubnow contohnya. Dan tentunya bahkan ada lebih banyak kaum Yahudi liberal, sosialis dan komunis, konservatif dan lainnya yang sama sekali bukan nasionalis.

Sebelum genosida oleh Nazi, kebanyakan kaum Yahudi dan bahkan kebanyakan nasionalis Yahudi menolak Zionisme. Bahkan pada tahun 1930an, di bawah bayang-bayang fasisme, sejarawan William Rubinstein telah menunjukkan bahwa dukungan terhadap Zionisme di antara kaum Yahudi sedunia tidak dapat melebihi 15 persen. Untuk memahami kenapa, Anda harus melihat keunikan karakter Zionisme sebagai ideologi.

- Zionisme sangat tidak biasa karena mengusulkan pendirian suatu negara-bangsa bukan di tempat tinggal orang yang akan dibebaskannya, tapi memindahkan mereka secara besar-besaran ke tempat yang berbeda - ke Palestina, di mana tradisi relijius Yahudi bermula, tapi hanya sedikit kaum Yahudi yang bertempat tinggal di situ selama lebih dari 1500 tahun.

- Zionisme sangat tidak biasa karena kebenciannya terhadap budaya sesungguhnya dari rakyat yang diklaim hendak dibebaskannya, yakni budaya Yiddish dari kaum Yahudi Eropa Timur. Sikapnya terhadap Yahudi non-Eropa dari Timur Tengah dan Afrika jauh lebih parah lagi, tapi dalam hal ini ia mewarisi asumsi rasis dari kebanyakan nasionalisme Eropa. Ia mengusulkan untuk menggantikan bahasa dan budaya Yiddish dengan Ibrani, yang selama berabad-abad tidak digunakan oleh kaum Yahudi dalam percakapan sehari-hari kecuali dalam sembahyang dan studi keagamaan.

- Zionisme berbeda dalam hal tingkat ketergantungannya pada dukungan kekuatan kolonial atau imperial untuk menjalankan proyek konstruksi nasionalnya. Bapak dari gerakan Zionis, Theodore Herzl, sangat menyadari peran tersebut: "Kita akan membangun di sana [di Palestina] suatu wilayah yang melindungi Eropa dari Asia, melindungi peradaban dari barbarisme Asiatik." - Setelah bercumbu dengan Turki, menyusul Perang Dunia I gerakan Zionis bersekutu dengan Inggris, yang mengembang-biakkan hunian kolonial Zionis di Palestina atas penderitaan penduduk asli Arab.

Tidaklah mengejutkan dalam perspektif semua ini bahwa mayoritas besar kaum Yahudi menolak Zionisme. Kebanyakan kaum Yahudi Orthodox menentangnya atas alasan relijius, sebagai pelanggaran sekuleris terhadap peran unik Tuhan dalam mendatangkan era Messianik. Reformasi Yahudisme pada akhir abad 19 di Amerika dan Jerman menentangnya sebagai penyimpangan modernisasi Yahudi dan emansipasi politik. Kaum Yahudi sosialis mencibirnya karena berupaya memecah belah pekerja Yahudi dari perjuangan proletar. Kebanyakan kaum Yahudi biasa memandangnya sebagai ide aneh yang tak berhubungan dengan kehidupan mereka.

Bahkan dengan bangkitnya ancaman Nazi pada tahun 1930an, kaum Yahudi pada umumnya tidak memandang Zionisme atau emigrasi ke Palestina sebagai solusi terhadap persoalan mereka. Dan aliran utama Zionisme politik nyatanya tidak tertarik untuk menyelamatkan kaum Yahudi dari Jerman atau Eropa Timur; David Ben-Gurion lebih tertarik untuk membawa kaum Yahudi muda atau mereka yang bermodal ke Palestina, bukannya dalam jumlah besar yang ia hina sebagai pedagang kecil. Zionisme memang tidak berupaya - dan untuk jujurnya, tidak akan berhasil bahkan bila mencobanya - untuk menolong jutaan kaum Yahudi Eropa dari genosida Nazi.

Maka, pertanyaan yang mengemuka adalah bagaimana gerakan kolonial yang secara historis terlambat itu dapat berhasil setelah sebagian besar kaum Yahudi menentangnya maupun tidak mengacuhkannya, dan ketika rakyat Palestina dan Arab jelas-jelas berupaya segala cara untuk menghentikannya. Pada dasarnya ada tiga alasan:

Pertama, hunian Zionis di Palestina sangat menguntungkan imperialisme Inggris dalam periode inter-perang [antara Perang Dunia I dan PD II, pen.]. Administrasi kolonial Inggris (yang disebut "Mandat") memberikan keuntungan ekonomi yang substansial dan perlindungan militer kepada Yishuv (komunitas hunian Yahudi). Gerakan Zionis pada tahun 1940an juga sangat lihai dalam mempromosikan diri mereka kepada kekuasaan imperialis yang sedang bangkit, Amerika Serikat, sebagai sekutu untuk mengontrol Timur Tengah yang strategis.

Kedua, gerakan Zionis di Palestina sangat terorganisir dan strategis dalam perencanaannya, sementara penduduk Palestina tidak terorganisir dengan baik, dipimpin dengan buruk dan didominasi oleh tuan-tanah feodal, seringkali tidak bertempat tinggal di tanah miliknya (absentee) dan menjual tanahnya kepada hunian Zionis tanpa pengetahuan para petani. Sebagai tambahan, proyek Zionis berhasil menghidupkan kembali bahasa Ibrani sebagai faktor krusial dalam pembentukan identitas dari sebuah bangsa baru.

- Ketiga, perdebatan dalam dunia Yahudi tidak pernah "dimenangkan" oleh argumen Zionis. Melainkan, genosida Nazi dan represi brutal Stalinis yang mengakhiri argumen, dengan disingkirkannya sebagian besar kaum Yahudi di Eropa dan diputusnya hubungan dengan kaum Yahudi di blok soviet. Pada akhir Perang Dunia II terdapat beberapa ratus ribu orang Yahudi yang bertahan hidup di kamp-kamp Orang yang Terpindahkan [Displaced Persons camps], tanpa rumah dan tempat untuk pulang kecuali Palestina (sementara pemerintahan barat dan gerakan Zionis tidak berminat membuka perbatasannya kepada mereka yang bertahan hidup ini).

- Kumpulan orang yang putus asa ini menjadi massa kritis yang akhirnya memberikan Zionisme-politik basis bagi Negara Yahudi di Palestina. Dengan penolakan kepemimpinan Zionis terhadap bi-nasionalisme dalam bentuk apa pun, maka ia mengusung opsi lainnya - perang pembersihan etnis yang dirayakan oleh Israel sebagai Perang Kemerdekaan dan oleh rakyat Palestina sebagai peringatan Nakba - menciptakan panggung bagi berlanjutnya konflik ratusan tahun dan tragedi yang telah menyusulnya. Walau demikian, pembentukan bangsa baru yang berbahasa-Ibrani di Palestina dan Israel adalah suatu kenyataan yang telah terjadi - suatu kenyataan tragis yang tidak akan terjadi bila saja kaum Yahudi di Eropa tidak dihapuskan, tapi lagipula kenyataan ini tidak diragukan lagi.

David Finkel adalah anggota organisasi sosialis AS Solidarity (www.solidarity-us.org) dan editor majalah AGAINST THE CURRENT.

Diterjemahkan dari sini

__________________________________________________

Story of Peter - Sarasvati Yang Selalu Mengisi Hati

Sarasvati - Story of Peter

Pertama kali mengenal band ini dari seorang rekan sesama penggila kegiatan naik gunung. Dan langsung saja saya dibuat jatuh cinta saat mendengarkan track demi tracknya. Luar biasa! Itulah kata yang saya ucapkan, meski hanya di dalam hati.

Agak lupa track yang mana yang saya dengarkan untuk pertama kali malam itu. Tapi sejak malam itulah akhirnya semua track yang ada di Album Story of Peter menjadi wajib saya dengarkan setiap harinya jika ada kesempatan untuk menyetel Winamp/Audio Player.

Agak sedih ketika sempat beberapa waktu tidak dapat lagi secara rutin mendengarkan Story of Peter yang track demi tracknya seakan membawa saya berjalan-jalan jauh ke alam yang lain. Alam yang begitu tenang, damai, dan menentramkan kegelisahan yang mau tidak mau memang saya rasakan selagi saya hidup. Beruntunglah BB yang terjual dapat menyisakan uang sehingga saya dapat membeli Album Original Band Bandung tersebut.

Story of Peter sendiri terdiri dari 7 Track yang dibuka langsung oleh lagu Story of Peter yang menjadi judul albumnya. Saya sendiri tidak begitu tau tentang cerita dibelakang pembuatan lagu ini. Yang jelas saya sangat menyukainya. Namun dari beberapa cerita yang saya baca, lagu tersebut merupakan pengalaman Teh Risa yang konon diberi kelebihan untuk "merasakan" sesuatu yang tidak dirasakan oleh manusia kebanyakan.

Cut & Paste menyusul di track kedua. Track yang dahsyat. Mengalun menembus telinga dan masuk begitu dalam ke hati saya. Ingin orgasme rasanya jika mendengarkan alunan nada track yang satu ini :D

Berurutan, Question, Fight Club, Oh I Never Knew, dan Perjalanan (lagu lama yang rasanya sudah saya lupa sebelum saya mendengarkan lagi dengan versi mereka) menjadi track selanjutnya. Oh I Never Knew sontak menjadi track wajib bagi saya, wajib saya mainkan setiap saya memegang gitar saat sendirian di tengah malam sambil menatap bintang/bulan (kebiasaan orang kurang kerjaan, demikian tetangga saya bilang, but I don't care! Only God can judge me).

Dan tanpa berpanjang kata karena laptop yang saya gunakan untuk mengetik hari ini bukan laptop saya, dan pemakaiannya sendiri digilir untuk 3 orang yang memiki kepentingan yang lebih penting dari si pemilik laptop sendiri, saya mengucapkan beribu terima kasih kepada pemuda kurus berkacamata bernama Benny yang telah mengenalkan saya akan dahsyatnya Sarasvati. Hope all the best for you my guys :D

Padang, 2011

Pertanyaan Hati Tentang Haji

Idul Adha telah berlalu, tandanya bulan haji telah berakhir. Salahkah? Jika salah, tolong maafkan saya.

Di salah satu Running Text di sebuah televisi, saya baca jumlah orang Indonesia yang naik haji pada tahun 2011 ini sekitar 200.000 orang. Wow, angka yang luar biasa menurut saya. Jika dikalikan dengan ongkos naik haji yang jika dirata2kan (sebutlah) adalah sebesar USD 3000, maka total biaya naik haji yang terkumpul adalah sebesar USD 600.000.000. Fantastis!!!

Jika jumlah orang yang naik haji di tahun ini ditambahkan dengan jumlah orang2 yang naik haji pada tahun2 yang telah berlalu, maka saya rasa jumlah orang2 yang bergelar Bu Haji atau Pak Haji di Indonesia pasti sangat banyak sekali. Dan bisa saja, jumlah tersebut adalah jumlah yang terbesar di dunia.

Melihat fakta2 "perkiraan" saya tersebut, seharusnya, bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah negara religius terbesar yang ada di dunia. Dan seharusnya, dimata saya, dengan Pak Haji dan Bu Haji yang jumlahnya besar tersebut, masyarakat Indonesia mestilah memiliki kepekaan terhadap kemanusiaan yang baik.

Tapi jika dilihat fakta di lapangan. Hmmm...

Apa ya yang salah?
Lihat saja betapa membludaknya kasus-kasus kejahatan di Negara ini, Pembunuhan, Pemerkosaan, Perampokan, dan lain-lain. Kemiskinan yang merajalela (lihatlah betapa banyak kasus2 orang mati kelaparan, ibu2 kehilangan bayinya karena tak sanggup membayar biaya pengobatan, orang bunuh diri karena tak sanggup lagi menahan beban hidup yang begitu tinggi)

Apa yang salah dengan negara ini?
Apakah karena Agama hanya menjadi pelengkap saja? Atau malah hanya sekedar menjadi fashion semata yang menyebabkan Agama itu sendiri tidak tertanam dengan baik dalam benak masyarakat kita?

Sebuah pertanyaan yang saya sendiri pusing untuk memikirkannya.Ya karena otak saya agak berbeda dalam memahami sesuatu jika dibandingkan rekan2 pergaulan saya yang kebanyakan adalah orang2 Agamis yang tentu akan seiya sekata dengan kalimat saya di atas (Apakah karena Agama hanya menjadi pelengkap saja?)




**Ditulis ketika melintas di sebuah tempat yang terkurung banjir. 2011

Senin, 07 November 2011

Kita Menjilat Tuhan

Subuh waktu itu, saat seorang pemuda memasuki masjid yang berada dalam komplek yang dikenal sangat menjunjung nilai2 Islam. Bajunya lumayan basah, karena memang cuaca sedang tidak bersahabat. Hujan deras mengguyur pinggiran jakarta sejak kedua jarum jam tepat menunjuk angka 12. keinginannya yang besar untuk berjamaah di Masjid setelah ia pulang bekerja di sebuah percetakan menguatkan tekadnya.

Pelan tapi pasti, kakinya melangkah ke tempat wudhu setelah dilepaskannya sepasang boots yang melindungi kakinya. Air wudhu dirasakan sejuk, mengalir di pori2 wajahnya. Membersihkan noda yang tampak. Agak lama ia membersihkan rambut panjangnya yang kaku,karena ia ingin rambut itu menjadi rapi saat dihadapankannya wajahnya kepada Tuhan yang telah menciptakannya.

Banyak mata memandang saat itu, tapi ia tidak peduli. Karena memang ia hanya ingin menghadap Tuhannya, menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim. Mata-mata itu memandang tajam, seakan tak percaya, mungkin dalam pikir mereka, pemuda tersebut sedang mengincar suatu barang berharga, kotak amal masjid misalnya. Tapi ia tetap tak peduli. Tuhannya lah tujuannya, bukan penilaian orang lain.

Selesai berwudhu, dengan perlahan ia masuk ke dalam masjid, mengeluarkan sarung untuk dikenakannya, sarung yang berfungsi menutupi celananya yang sobek dimana-mana, ia tau, paha yang terlihat adalah aurat bagi seorang lekaki muslim. dipakainya juga jaket kulit hitam karena memang saat itu ia hanya mengenakan kaos oblong yang dipotong pergelangan lengannya, Kaos buntung, demikian orang menyebutnya.

Iqamah sudah berkumandang, tanda sholat akan segera dimulai. Tapi sang imam, tidak juga memulai, bahkan sejak ia selesai merapatkan barisan jamaahnya. Mata sang imam tajam menatap sang pemuda, si pemuda memang tidak memperhatikan sehingga dia tidak tau dirinya sedang menjadi perhatian sang imam. Suara sang imam yang pelan, akhirnya menyadarkannya. Suara sang imam penuh kelembutan, nadanya ringan, tapi begitu dalam, hingga menyentuh dasar hati setiap orang yang mungkin mendengarkannya.

"mas, kalo mau sholat mbok ya yang rapi, jangan pakai jaket hitam gambar2 tengkorak seperti itu, apalagi duri2 di jaketnya. Mas kan muslim, masa mau bernampilan ala pemuda Yahudi ? Masa mas tidak malu menghadap Tuhan dengan pakaian seperti itu"

Dengan ekor matanya, si pemuda melihat banyak jamaah menganggukan kepalanya. Hatinya ngilu.apalagi sempat ia mendengar seorang ayah berbicara lirih kepada anaknya, "nak, besar nanti jangan seperti om itu ya, berandal"

Tapi ia berlalu, tak jadi sholat. dan melangkahkan kakinya menuju keluar masjid. Di pelataran, ia sholat sendirian, dan cepat berlalu ketika ia selesai sholat.

Dalam hatinya ia berkata, Inikah orang2 yang terdidik dalam lingkungan agama, dimana keseharian mereka diisi oleh ilmu. sering juga ia dengar ceramah2 sang imam dari pengeras suara tentang perintah2 dan perbuatan baik yang harus dilakukan seorang muslim. "inikah perbuatan baik yang dimaksud?" Hatinya kecut menjawab, semoga tidak. Mereka hanya sedang menjilat Tuhan dengan  cara berpikirnya.


*kisah ini nyata, terjadi sekitar beberapa tahun yang lalu.

Rabu, 26 Oktober 2011

Bahaya Swastanisasi Air Di Depan Mata

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”  Itulah buah fikiran para pendiri bangsa tentang bagaimana mengatur perekonomian. Gagasan itu dituangkan dalam konstitusi nasional kita: Pasal 33 UUD 1945 ayat (3).

Namun, setelah 66 tahun gagasan itu dikonstitusikan, para penyelenggara negara malah mengabaikannya sama sekali. Penyelenggara negara saat ini justru memilih menjalankan gagasan-gagasan ekonomi liberal. Padahal, sebagaimana sudah dikhawatirkan para founding father,  gagasan ekonomi liberal tidak cocok dengan cita-cita untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia.

Satu hal yang paling mengkhawatirkan sekarang adalah soal pengelolaan air. Sejak era neoliberalisme mendominasi pemikiran dan kebijakan ekonomi di Indonesia, konsep tentang pengelolaan air mulai mengarah pada privatisasi. Dan ini makin jelas dengan disahkannya UU Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

UU tersebut menjadi payung hukum pelaksanaan privatisasi air di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, keterlibatan swasta dalam pengelolaan dan pelayanan air di Indonesia semakin besar. Di Jakarta, privatisasi layanan air bahkan sudah dimulai sejak tahun 1998. Saat ini, pengolaan air bersih di Jakarta dikuasai oleh dua korporasi asing, yaitu Suez Environnement (Perancis) dan Thames Water (Inggris).

***

Privatisasi air juga sudah berjalan di Makassar. Walikota Makassar yang sekarang ini, Ilham Arief Siradjuddin, adalah pendukung kuat ide dan kebijakan privatisasi. Ia bahkan menganggap privatisasi akan menguntungkan PDAM.

Tetapi angan-angan—mungkin juga tipuan—ilham Arief itu tidak terbukti. Setelah menjalin hubungan dengan swasta, PDAM Makassar malah semakin terbebani utang dan pembiayaan. “Setelah bekerjasama dengan swasta, PDAM kekurangan dana sebesar Rp33 milyar,” kata Bastian Lubis, seorang pengamat kebijakan publik di Makassar, saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Malapetaka Privatisasi Air di Makassar” di warkop Cappo, Makassar.

Akibatnya, untuk menutupi “bolong” tersebut, PDAM pun menaikkan tariff air secara agressif. Kenaikan pertama terjadi pada tahun 2006, dimana PDAM Makassar menaikkan tariff secara signifikan: dari Rp1000 menjadi Rp2750.

Sudah terpojok begitu, PDAM tetap saja ngotot melanjutkan agenda privatisasi. Beberapa instalasi pengolahan air (IPA) di Makassar sudah diserahkan kepada swasta: PT. Traya. Persoalan pun makin bertambah parah.

Akhirnya, pada Juli 2011 lalu, PDAM kembali menaikkan tariff secara signifikan, yakni 25%. Sementara di masyarakat, yang sejak awal sudah terbebani dengan berbagai biaya ekonomi, kenaikan tariff dirasa diatas 100%.  Bahkan kenaikan untuk kategori lembaga publik diperkirakan mencapai 1108%. Itupun baru kenaikan tahap pertama. Akan ada lagi kenaikan pada 2012 dengan 10%, dan kemudian kenaikan pada 2013 sebesar 15%.

Padahal, untuk sekarang saja, kenaikan ini sudah sangat membebani rakyat banyak dan lembaga publik. “tariff air di Makassar saat ini merupakan yang termajal di Indonesia, bahkan mungkin dunia,” ungkap Bastian Lubis.

Ia pun dengan tegas menolak kebijakan privatisasi air itu.

Sementara itu, Babra Kamal, yang mewakili Partai Rakyat Demokratik (PRD), berusaha menghubungkan agenda privatisasi air itu dengan kebijakan umum pemerintah di bidang ekonomi dan politik.

“Ini adalah tuntutan dari neoliberalisme. Semua sektor kehiduan, termasuk soal air, hendak diserahkan kepemilikannya kepada swasta,” tegasnya.

Babra menganggap konsep privatisasi sebagai bentuk perampasan dan pengambil-alihan kekayaan publik oleh segelintir korporasi. Tidak hanya itu, kata alumnus jurusan perikanan Unhas ini, konsep privatisasi telah menghapus peran negara sebagai sarana memperjuangkan kesejahteraan sosial.

Jika digeledah lebih jauh lagi, kata Babra, privatisasi membuat tanggung jawab negara diserahkan kepada rakyat. Rakyat pun harus mengeluarkan dana yang lebih besar untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. “Ini sebetulnya pelanggaran terhadap konstitusi. Sebab konstitusi kita menggariskan bahwa negara adalah alat untuk mencapai tujuan. Sehingga peran negara bersifat wajib,” katanya.

Babra menganggap privatisasi air bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945. Anehnya, ada Undang-Undang yang membolehkan privatisasi, yaitu UU nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air. “Seharusnya UU yang lebih rendah tidak bisa bertentangan atau berlawanan dengan UU yang lebih tinggi,” tegasnya.

Ia pun mengurai kegagalan privatisasi air di berbagai negara. Bahkan, dalam kasus Bolivia, privatisasi air telah memicu kebangkitan perlawanan rakyat. “Di sana terjadi apa yang disebut ‘water war’. Dan, gerakan rakyat bangkit untuk merebut kembali air sebagai milik rakyat,” ujarnya.

Di Indonesia, kata Babra, privatisasi air hanya membuahkan kenaikan tariff, tetapi sama sekali tidak ada perbaikan kualitas layanan. Bahkan dianggapnya makin bertambah buruk. Di Jakarta, misalnya, 37% masyarakat DKI yang belum menikmati air bersih. Sementara laporan BPS Jakarta menyebutkan, layanan perpipaan air di Jakarta baru mencapai 24,18%. Hasil riset Kesehatan Dasar 2010 Kementerian Kesehatan menyebutkan, hanya 18,3 persen warga Jakarta yang memiliki sambungan air perpipaan terlindungi. Sedangkan, sekitar 90 persen lebih air tanah di Jakarta mengandung bakteri E-coli.

Oleh karena itu, di penghujung diskusi Babra mengajak berbagai elemen pergerakan rakyat untuk bergabung dalam gerakan nasional pasal 33 UUD 1945. “Gerakan Nasional Pasal 33 UUD 1945 bermaksud mengembalikan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya ke tangan rakyat,” tegasnya.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Komunitas Warna Warni | Bloggerized by Otak Kiri - Otak Kiri